Sunday, February 27, 2011

Senja, kupu-kupu dan pohon ketapang

Senja di cakrawala sana berawan pecah-pecah ketika mataku terarah pada horizon. Daun-daun ketapang yang mengering tergiring angin, satu persatu jatuh, ada guratan sebaris kata-kata di batangnya, namun telah samar, tinggal ceruk yang berkerut hampir hilang. Pemandangan yang ku sukai dari pohon itu ialah daun-daun keringnya.

Ada banyak kupu-kupu yang berteman senja, berkeliaran terbang mengitari tepian. Pada sepetak kenangan, di hamparkan kebiasaan melawan secuil penderitaan, walau sekejap, berkala setiap harinya kupu-kupu berada di tepian, namun, tak pernah sampai ia terbang di daun pohon ketapang.


Semut-semut yang mendiami pohon berseteru padu mengusir kupu-kupu. Mereka, bukan sang pembuat ceruk yang masuk ke batang pohon. Sampai kapanpun, semut akan menjaga rahasia siapa yang mengguratkan cerukan di batang pohon itu. Barisan semut-semut itu merayapi batang pohon ketapang, berbaris dengan satu komando di depannya menuju tinggi pohon dan kembali lagi dengan bentuk melingkar masuk ke dalam guratan itu.

Salah satu kupu-kupu pernah menghampiriku, dekat dengan sayapnya yang melekat di pundaknya. Ia bertanya tentang arah senja yang berwarna jingga. aku menunjukan telunjuk kesana, ke arah pohon ketapang yang daun-daunnya mengering. tak jauh dari pohon, ramai bunga-bunga mekar berderet di terbangi kumbang-kumbang kuning di atasnya.

"lebih baik kau kesana". seruku pada kupu-kupu.

“bunga-bunga itu punya kumbang-kumbang, dan pohon ketapang itu punya sekumpulan semut. Pohon ketapang tidak menyukaiku”. Kata kupu-kupu. lalu terbang menghambur ke arah angin, menari-nari ingin membuatku tertawa. ia pandai menghibur dan bercerita. ah, tapi biasa saja menurutku. di kepalaku sejenak ia 
hinggap lalu melayang hilang berkejar angin.

Nanti kupu-kupu pasti datang lagi ke tempatku, membawakan suatu cerita seru yang terkadang membuatku tertawa, mual, muntah, sakit kepala, dan bahkan pingsan hingga harus beristirahat berhari-hari.
Di atas bebatuan granit bersusun, tak jauh dari tempatku, sepasang muda-mudi mengikat janji, semoga abadi, seperti cerita dongeng-dongeng yang berakhir bahagia, mereka belum mengerti arti hidup dan hanya bisa mengais-ngais jiwa yang sepi agar terisi. Ego sedang berada di tingkat tinggi. Semoga salah satunya suka menulis, agar kelak bisa dibaca-baca sambil tertawa bila semua telah berlalu apapun akhirnya.

Sepetak senja di bawah pohon ketapang kini abadi dalam kameraku, daunnya yang kering membuatku suka memandangiya, nanti aku akan membaca guratan yang ada di batang pohon itu tanpa sepengetahuan kupu-kupu. aku akan berdamai dengan barisan semut yang menunggui batang ketapang. Bila perlu aku akan membawa sekotak gula-gula untuk menyogok para semut-semut itu.

Senja dan kupu-kupu mendengarkan dialog antara dua orang laki-laki berbeda profesi. Di laporkannya padaku tentang pengrusakan alam dan pembakaran hutan yang disengaja. Kupu-kupu mengatakan benci kepada manusia seperti mereka. Pada lain cerita, terjadi konspirasi penjatuhan sebuah kekuasaan, menutupi kebenaran serta kebohongan publik.

Kupu-kupu lucu menangis, tangisnya di dengar pohon ketapang. Tapi, itu sebuah tangis yang biasa di dengar oleh pohon ketapang, karena setiap hari ia mendengar tangis yang tak pernah berhenti. Pada pagi, siang, sore hingga malam hari selalu terdengar tangis sampai mengeringkan daun.

“itu tangis penderitaan. Tangis yang di dengar oleh sesama pohon. Pohon-pohon yang terbakar itu”. kata senja kepadaku.

Aku diam saja dalam riakan air yang kupandangi di tepian, mendengarkan celoteh senja dan kupu-kupu yang melaporkan hal yang mereka dengar. Kupu-kupu terbang lagi dengan isakan tangisnya, sekarang menuju ke arah sebongkah kayu yang sudah menjadi tempat dudukan. Senja berbisik kepadaku, katanya, kupu-kupu adalah sang pembuat angin. Oleh sebab itu pohon ketapang tak menyukainya, karena ia yang meniupkan api menjadi besar. Jauh sebelum ia menjadi kupu-kupu, begitu banyak orang yang sangat jijik kepadanya dikarenakan dulunya ia adalah seekor ulat sebelum bermetamorfosa.

Selalu akan ada perseteruan antara setiap yang hidup di bumi tuhan ini, alam pun saling menyalahkan. Senja di tepian semakin erotis saja menurutku, garis-garis antara alam dan manusia kini tinggal setipis kabut yang akan hilang membias karena sinar matahari. Di seberang sana sekumpulan orang berbicara kesenian yang banyak menghabiskan dana dan tenaga tak sedikit, namun, tak ada dukungan dari pemerintah setempat, apalagi kucuran dana yang di harapkan. Ah, apakah itu sebuah kekeliruan saja. Senja menceritakan juga padaku bahwa mereka hanya ingin di apresiasi saja dan membuat media untuk para penggemar seni. Hmm, aku rasa harus lebih serius mendengarkan cerita senja.

Angin bertiup lembut ke arah barat kini, ilalang condong dan bunga-bunga putihnya yang halus melayang ke udara, buah-buah pohon ru yang kering menggelinding menuruni tebing dan terhenti di bebatuan merah bauksit yang sudah mengeras. Orang-orang yang berjalan di sekitar taman kota menghadapkan pandangannya ke atas, arah pandangan itu ke sebalik bukit yang baru saja terbakar, tinggal menyisakan asap yang melambung ke angkasa menyatu menjadi awan.

Aku memotong lagi sepetak langit berhias awan yang membentuk gelembung seperti balon udara, di kameraku sudah banyak potongan-potongan senja, nanti biar ada yang membingkainya dan akan kuberikan kepada kekasih sehidup sematiku kelak. Siapa kekasihku?. Dalam hatiku bertanya. Mengapa jawaban yang kudengar hanya tawa dari pohon-pohon di sekitarku?. Aku mulai limbung, tapi masih ingin mendengar senja bercerita.

Kupu-kupu datang lagi ke arahku, tangisnya sudah reda, namun wajahnya yang sedih masih berhias dan terlihat. Aku teringat kata-kata senja yang mengatakan kupu-kupu adalah sang pembuat angin. Sekarang ia datang lagi ke tempatku, dan mulai bercerita.

“aku mendengar orang-orang yang duduk di bongkahan kayu itu bercerita mengenai pajak, menurutku apakah mereka itu orang yang bijak?”. Kata kupu-kupu seraya mengitariku.

“mereka sama sepertiku, mereka manusia, mereka berbicara bijak sepertinya”. Kataku.

“dengarkan aku, mereka tak bijak meskipun mereka megurusi pajak, mereka membantu pencucian uang para usahawan bahkan politisi. Dan tak jarang mereka menggelapkan pajak yang di bayarkan hingga tak sampai menjadi laporan, tapi surat-surat bisa keluar”

Aku tak mengerti apa yang dikatakan kupu-kupu, aku ingin menganggapnya angin lalu saja, tapi bagaimana bisa aku menganggapnya angin, sedangkan ia adalah pembuat angin. Senja membisikan sesuatu lagi di telingaku yang kiri, dan di telingaku yang kanan kupu-kupu terus bercerita. Seimbang kini. Aku mengukur kekuatan berdiri di tepian ini. Tak ingin terjatuh.

Kupu-kupu dan senja, rasanya aku ingin mengabadikan kalian kedalam satu bingkai yang di buat oleh temanku yang berukuran badan kecil seperti kurcaci, apakah kalian mau?. Mungkin bisa menjadi hiasan apik di salah satu sudut kamarku, dan setiap malam sebelum tidur, aku akan mendengarkan kalian bercerita di telinga kanan dan kiriku hingga aku lelap di buai mimpi.

Aku meniupkan asap ke udara dari rokok yang kuhisap sedari tadi sambil mendengarkan cerita-cerita senja dan kupu-kupu. Di sekelilingku kini bayang-bayang yang di hasilkan cahaya matahari sore membentuk siluet, aku mengabadikannya dan mungkin nanti akan ku berikan judul bayangan di tepian di salah satu tulisanku, aku tersenyum sendiri, padahal limbung sedari tadi. Sepertinya mataku berkunang-kunang.

“nanti kau tanyakan kepada pohon ketapang siapa yang membuat guratan di batangnya itu” senja berbisik di telinga kiriku. Suaranya samar-samar, kupu-kupu tak mendengar.

“mereka bukan orang-orang yang bijak, tulislah di sebuah sajakmu”. Kupu-kupu berbisik di telinga kananku, suaranya pelan, senja seakan-akan tertelan sesapan kopi yang ku angkat ke bibirku.

“kalian benar-benar menghiburku dengan cerita sendu”. Kataku, tapi mataku mulai layu dan sayu kini. Sepertinya aku ingin berbaring di bawah pohon ketapang yang berada diseberang sana itu. senja juga berkata kalau pohon ketapang itu selalu mendengar tangis, bukan tangisan teman-teman sesama pohonnya yang terbakar saja. Tapi, ia bisa mendengar suara-suara tangisan lain.

“kupu-kupu yang lucu, kau lihat itu, sedang apa bocah lelaki yang disana”. tanyaku seraya menunjuk ke arah seberang, di bak sampah.

“ia mencari sisa-sisa makanan, sudah seharian ia hanya minum air di tepian kolam ini. Kalau kau punya sesuatu yang dapat kau berikan untuknya, lekaslah kesana sebelum ia mati di kerubungi lalat”. Kata kupu-kupu dengan kepak sayapnya yang menciptakan angin. Benar juga apa yang di katakan senja, kupu-kupu adalah pembuat angin.

“bocah itu kelaparan, kedua orang tuanya juga tak lebih mengenaskan di bandingnya, orang tua bocah itu sedang memetik daun-daun di kebun liar untuk makan malam nanti”. Kata senja menambahkan. Aku lekat memandang ke arah bak sampah, aku akan memberikan beberapa lembar ribuan untuknya. Hari ini sungguh miris dan senja tersenyum manis, ia mengabarkan pada bocah itu bahwa nanti malam akan ada makan malam dari beberapa uang ribuan.

Pandanganku mengarah pada bebatuan granit yang tersusun, disana masih ada sepasang muda-mudi yang tadi mengikat janji, tawa mereka bahagia sekali, dan aku pikir yang satu putih abu-abu dan satunya lagi putih biru, ah indahnya masa remaja.

“senja, berdirilah di belakang muda-mudi itu, aku akan mengabadikan kalian”. Kataku pada senja. Sepetak gambar masuk ke dalam kameraku dan nanti akan ku beri judul : mereka belum mengerti arti hidup.
Perlahan langit merubah warnanya menjadi abu-abu. Kupu-kupu kembali terbang mengitari tepian dan senja sudah akan berlalu, cahaya mentari pelan-pelan meredup bersembunyi di balik horizon. Semilir angin meniupkan memiringkan tubuh ilalang, dan daun-daun kering pohon ketapang semakin indah di pandang tertimpa cahaya lampu kuning yang menggantung di seputaran tepian.

Apa yang di katakan makhluk-makhluk hidup ciptaan tuhan ini kepadaku?. Senja, kupu-kupu dan pohon ketapang. tadi aku seperti membelah diri dan berbicara dengan potongan pada bagian-bagian setiap tubuhku. Serta suara tangisan yang di dengar pohon ketapang. Ah, bumi memang selalu menangis.

***
 kijang 25-02-2011


No comments:

Post a Comment